Melayani, Mengabdi dan Berjuang

Facebook
RSS

Pendidikan itu Mahal?



Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5"bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat".begitulah bunyi Undang-undang tentang pendidikan nasional yang ada di Indonesia. 
Pendidikan sebagai tumpuan utama manusia supaya mampu berkembang, memang harus diperoleh semua warga negara. Dengan pendidikan yang baik maka akan diperoleh Sumber Daya Manusia(SDM) yang baik pula. Kualitas pendidikan suatu negara menunjukan pula tingkat kemajuan negara tersebut.
Tapi pada kenyataannya pendidikan itu mahal tidak semua orang mampu memperolehnya.  Bahkan pendidikan saat ini dijadikan sebagai sala satu komoditi untuk menghasilkan keuntungan. Pada saat ini pemerintah telah menggalakan wajib belajar 9 tahun. Walaupun begitu masih banyak anak - anak usia sekolah yang tak mampu belajar di sekolah karena alasan biaya atau karena harus bekerja untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Pada jenjang SMA dan Perguruan tinggi malah makin banyak orang yang tak mampu meneruskan pendidikan. Dengan biaya yang makin mahal pendidikan pun dirasakan semakin tak berimbang. Di kota-kota besar dengan ribuan fasilitas mewah dan transportasi yang makin mudah. Pendidikan pun ditawarkan dengan harga yang sangat mahal. Sehingga hanya orang-orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pendidikan. 
Padahal menurut penelitian dari bank dunia dengan ukuran pendapatan $2 per hari 59% bangsa Indonesia berada dalam kondisi miskin. Dengan banyaknya orang-orang yang mampu saja yang memperoleh pendidikan maka peluang orang - orang miskin untuk mendapat pekerjaan pun semakin sulit karena mereka harus bersaing dengan orang - orang yang memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Orang-orang yang telah memperoleh pendidikan pun belum tentu mendapatkan pekerjaan jika mereka tidak kreatif dan mampu bersaing. Sehingga yang timbul adalah kesenjangan sosial yang semakin lebar.
Di daerah-daerah terpencil kondisi pendidikan pun terasa sangat memprihatinkan. Dengan kondisi bangunan yang mau roboh. Anak -anak sekolah harus menempuh jalan berkilo-kilo meter untuk mencapainya. Di sekolah nya pun fasilitas-fasiliasnya sangat sederhana yang penting mereka dapat duduk dan mendapatkan pelajaran. Di tambah dengan kondisi guru yang honerer yang memperoleh honor yang sangat rendah sehingga motivasi mereka mengajar pun kurang. 
Walaupun pemerintah saat ini telah berhasil menganggarkan pendidikan  sebesar 20% dari APBN tetepi dalam proses pengerjaan masih belum benar. Diperlukan kontrol yang tinggi terhadap masalah pendidikan ini karena menyangkut masa depan bangsa. Semakin banyaknya bangsa kita yang memperoleh pendidikan semakin terbukanya peluang bangsa ini untuk berkembang. Begitulah gambaran kondisi pendidikan yang saya ketahui saat ini, saya tak bisa membayangkan bagaimana jadi nya masa depan bangsa kita jika sistem pendidikan masih seperti inidiperlukan keberanian untuk mebenahi semuanya. 
[Ade Setiawan,KESMA]
[ Read More ]

PENDIDIKAN RENDAH karena MISKIN atau MISKIN karena PENDIDIKAN RENDAH



Sejenak saat saya istirahat melaksanakan tugas saya di KESMA, terlintas di benak saya apakah pendidikan rendah dan miskin atau miskin dan pendidikan rendah merupakan paket yang sudah menjadi sebuah sistem dalam kehidupan ini. Saya tidak bermaksud untuk menjadi lebih paham dari siapa pun hanya saja inilah yang sedang saya pikirkan dan mengganggu perasaan saya.
Pendidikan rendah yang saya maksud disini yaitu mengecam pendidikan di bangku sekolah dasar terlepas dari lulus atau tidak. Menurut Sayogyo tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan. Menurutnya untuk daerah pedesaan dengan kategori :

  •  Miskin : Bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per   orang per tahun
  • Miskin sekali : Bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun
  • Paling miskin : Bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun
daerah perkotaan :
a.       Miskin: Bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun
d.       Miskin sekali  : Bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun
e.       Paling miskin : Bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun
(sumber id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2043096-pengertian-miskin-dari-berbagai-sumber/)

Kesimpulan sederhana saya seseorang bisa dikatakan miskin apabila pendapatan dia sama sekali tidak bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Silahkan di koreksi apabila saya salah.
Kebanyakan orang-orang yang berpendidikan rendah itu di karenakan mereka miskin sehingga pendapatan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tujuan hidup mereka hanya untuk mencari uang karena mereka berfikir setinggi apapun sekolah pasti akhirnya bertujuan mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang. Pernyataan saya ini di dapat dari pegamatan saya dari beberapa tayangan di televisi yang menceritakan tentang keseharian dan alasan mereka tidak sekolah.
Miskin karena pendidikan rendah, anggapan dari sebagian orang bahwa orang yang berpendidikan rendah tidak bisa menaikkan taraf hidupnya. Karena orang yang berpendidikan rendah cenderung tidak memiliki kreatifitas sehingga usaha yang mereka jalankan tidak bisa berkembang. Mereka tidak bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri hanya bisa bekerja di tempat orang lain sedangkan jika bekerja di tempat orang lain hidup mereka tidak terjamin, tergantung pada orang lain.
Dan saya melihat kalimat miskin karena berpendidikan rendah atau berpendidikan rendah karena miskin itu adalah SALAH. Sekarang liat saja realitanya banyak orang yang berpendidikan rendah itu bukan karena miskin tapi mereka memang memutuskan tidak mengecam pendidikan yang lebih tinggi mungkin karena mereka sudah memiliki pekerjaan yang pas sehingga di rasa tidak perlu untuk sekolah atau belajar lagi. 
Selain itu di setiap sekolah ataupun universitas sudah memiliki program beasiswa untuk membantu biaya belajar siswa atau mahasiswanya sehingga tidak mampu atau bahkan miskin bukan lagi alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan.Indonesia saja sekarang memiliki 2700 perguruan tinggi swasta dan 100 lebih perguruan tinggi negri (sumber www.waspada.co.id
Faktanya saja di Universitas Padjadjaran bahkan di Badan Eksekutif Mahasiswa di bentuk departemen kesejahteraan mahasiswa untuk membantu para mahasiswa memberikan informasi tentang beasiswa dan mendampingi mahasiswa apabila ada masalah registrasi. Itu merupakan bukti bahwa taraf hidup seseorang saat kini tidak menentukan tingkat pendidikan seseorang. 
Ibu saya juga pernah bercerita bahwa zaman dulu tidak di wajibkan sekolah karena di kampung dulu orang yang berada pun tidak sekolah tinggi bukan karena miskin mereka hanya di targetkan bisa membaca, menulis, dan menghitung. Selain itu perempuan pun tidak di wajibkan sekolah karena menurut tradisi perempuan itu hanya ‘bertugas’ di dapur, jadi mereka berfikir untuk apa sekolah tinggi apabila hanya akhirnya untuk ke dapur. Semakin mempertegas bahwa orang yang berpendidikan rendah itu bukan karena miskin.
Sekarang miskin karena pendidikan rendah bohong itu, coba sekarang kita buka buku motivasi tentang orang-orang sukses. Mereka memulai kehidupannya benar-benar dari 0, benar-benar dari tidak memiliki apapun, tidak memiliki uang sepeser pun. Mereka hanya memiliki ketakutan tidak mau merasakan hidup seperti itu lagi dan mereka memiliki keyakinan bahwa setiap orang itu memiliki takdirnya masing-masing tetapi setiap orang bisa merubahnya dengan usaha.
Ayo semangat bagi kita yang tidak memiliki ‘apa-apa’ karena kita sudah siap jika suatu saat secara tiba-tiba kita memiliki ‘apa-apa’. Setiap manusia memang memiliki takdir tetapi tetap manusia itu sendiri aktornya yang mampu merubah takdirnya sendiri.Semoga tulisan pertama saya ini minimal bisa terbaca, maksimal bisa dipahami. Bila ada salah silahkan di koreksi karena menurut senior saya bahwa tidak ada tulisan yang sempurna.

 [Yeni Hendriyani,KESMA]

[ Read More ]

Utopia Pendidikan Indonesia (Bag 1. Menjadi Anak Tiri di Ibu Pertiwi)

“Setiap orang berhak mengembangkan diri mealui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari imu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” UUD 1945 BAB XA Pasal 28 C ayat (1)

Entah bermakna apa pasal itu saat ini. Apakah sebatas pemenuh konstitusi yang terkodifikasi, atau hanya sekedar rentetan kalimat utopis saja. sekali lagi, entahlah. Hanya pembuatnya yang tau. Tapi yang pasti pendidikan di negara ini masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan sangat jauh dari ekspektasi yang di idamkan.
Bila boleh saya mengkritik, banyak sekali hal-hal yang terjadi pada aktivitas penyelenggaraan pendidian di negara kita yang bertolak belakang dari Undang-undang yang tercantum serta sistem dari pendidikan itu sendiri. Apalagi kalau kita melihat pada UUD 1945 BAB XIII Pasal 31.
 Dalam pasal tersebut, di ”kisah” kan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan wajib untuk mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah berkewajiban untuk membiayainya. Dalam pasal tersebut juga mambahas mengenai penyelenggaraan sistem pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai IMTAQ dalam upaya pencerdasan bangsa. Serta, disediakannya anggaran dana yang digunakan untuk pendidikan. Tapi kenyataanya? Sekali lagi, entahlah..
Seperti yang dapat kita saksikan, masih banyak saudara-saudara kita yang hingga saat ini belum bisa mendapatkan salah satu hak dasarnya sebagai bagian hidup dari negara ini. Atau, ada pula yang memiliki kesempatan namun tidak mendapatan apa yang seharusnya ia dapatan sebagai seorang pencari ilmu di negara ini.
Padahal, dalam BAB III Sitem Pendidian Nasional mengenai hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mengikuti pendidikan agar dapat memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan, tanpa diskriminasi apapun. Baik itu jenis kelamin, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Tetapi, dewasa ini pendidikan bukan lagi sebagai sarana pencerdasan bangsa. Melainkan merupakan suatu ranah komresil, dimana didalamnya pihak-pihak yang berperan langsung dapat mendapatkan profit dari berbagai instrumen pemenuhan pendidikan. Walhasil, diskriminasi besar-besaran lah yang terjadi.
Seperti kita ketahui, di tingkat pendidikan menengah yang memiliki ‘predikat’ RSBI, pemerintah dengan ‘dermawan’ mengucurkan dana sekitar Rp. 5oo juta di tahun 2009 yang semula adalah Rp. 300 juta per sekolah. Tentu saja hal ini menimbulkan ketimpangan baik itu dari proses ataupun dari hasil belajar siswa yang berada disekolah RSBI dengan yang berstatus sekolah reguler. Padahal, RSBI ataupun Reguler memiliki kesamaan. Sama-sama harus merogoh kocek yang tidak sedikit, alias mahal. Meski memang tidak bisa dipungkiri bahwa biaya untuk sekolah RSBI lebih mahal dibanding reguler.
Hasilnya adalah, masyarakat kurang mampu yang menjadi korban. Mereka yang berharap dapat merubah nasib mereka dengan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, harus kembali mengusap dada karena kesempatan mereka kembali ditutup oleh mahalnya biaya pendidikan yang harus mereka bayar.
Tak hanya berhenti disini, diskriminasi pun terjadi terhadap siswa-siswa di daerah tertinggal. Disana masih banyak sekolah-sekolah yang bukan hanya kekurangan tenaga pengajar dan peralatan, bahkan sekolahnya pula tidak layak untuk ditempati. Meskipun pemerintah tahu persis hal ini tidak hanya disebabkan oleh letak geografis, perhatian pemerintah bisa di bilang masih kosong. Karena faktor-faktor selain letak geografis adalah rendahnya kualitas SDM dan sarana serta prasarana yang ada disana. Akan tetapi, bagaimana mungkin kualitas SDM akan baik dan sarana-prasarana akan terpenuhi jika pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai wakil mereka, hanya memperhatikan kawasan yang mereka tempati sebagai ladang mereka mencari harta. Ya.. kota-kota besar seperti Jakarta ataupun provinsi besar seperti Jawa.
Hal ini diperparah pula oleh ketentuan nilai kelulusan UN yang dari tahun ketahun semakin ‘menggila’ angkanya, yang tidak diimbangi oleh pemerataan pendidikan bagi seluruh wilayah di Indonesia. Tentu saja, untuk mereka yang mendapatkan kualitas terbaik atau sekedar mendapat ‘ilham’ dari membeli soal jawaban akan mampu melewati hal ini seperti angin lalu. Tetapi, untuk mereka yang kurang beruntung, hal ini bisa dianggap sebagai rem cakram bagi kalangsungan mereka dalam mencari ilmu.
 Padahal, pendidikan bukanlah sebagai tempat dimana banyak menelurkan insan-insan ‘pemburu angka’, melainkan sebagai tempat untuk dapat mengembangkan diri sesuai minat dan bakat yang dimiliki. Seperti kita ketahui, bahwa setiap orang memiliki keistimewaan masing-masing terlepas dari kelebihan ataupun kekurangan yang mereka miliki.
Tak hanya pada tingkat pendidikan menengah, pada tingkat lanjut alias perguruan tinggi diskriminasi pun masih dapat ditemukan. Seperti halnya yang terjadi pada SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun ini yang kuota nya dibatasi. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang sangat merugikan saudara-saudara kita yang ingin melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri.
Diskriminasi ini terlihat dari kuota yang diberikan pemerintah terhadap masing-masing sekolah di seluruh nusantara. Hanya untuk sekolah yang memiliki akreditasi sempurna ataupun berstatus RSBI yang memiliki probabilitas yan tinggi dalam memperolah kuota SMPTN. Sedangkan yang tidak, mau tidak mau harus berharap-harap cemas menunggu kebijakan pemerintah yan tidak diiringi kebijaksanaan ini. Pemerintah beralasan bahwa hal ini untuk meningkatkan mutu pendidikan, agar sekolah-sekolah yang belum terakreditasi A dapat termotivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Padahal, untuk hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, jika hal ini pula tidak dibantu oleh pemerintah yang memiliki ‘hajat’ kebijakan sendiri.
Entah apa yang diinginkan pemerintah. Padahal, dengan membatasi kuota SMPTN, rakyat Indonesia menjadi lebih kesulitan mendapatkan pendidikan dengan biaya yang lebih bisa terjangkau. Karena, secara otomatis, mereka harus mengikuti seleksi mandiri masuk Perguruan Tinggi Negeri pilihan mereka dengan catatan harus berani membayar lebih mahal.
Mau mengandalkan beasiswa pun rumitnya minta tobat. Karena, untuk mendapatkan beasiswa pun harus menempuh beberapa persyaratan yang tidak ringan. Apalagi, bila ada ‘permainan politik’ dalam memperoleh beasiswa. Mungkin harapan melanjutkan pendidikan hanyalah selayaknya bermimipi disiang bolong yang kemudian dibangunkan oleh sambaran petir bertubi-tubi.

KESIMPULAN
Kualitas pendidikan di negeri ini seolah menjadikan kita anak tiri di negara sendiri. Karena, bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang memiliki pelajar-pelajar dari luar negeri, perhatian pemerintah akan lebih ‘ramah dan memanjakan’. Berbeda dengan yang hanya berisi pelajar ‘lokal’ saja. Bila menghadapi pelajar ‘lokal’,  Pemerintah seolah tak acuh dan hanya memakai alibi ‘demi meningkatkan mutu pendidikan’ saja. Padahal, sebelum mereka memiliki dasi dan menduduki kursi pribadi, mereka telah diayomi oleh kasih sayang tulus dari Ibu Pertiwi yang kita cintai ini.
Permasalah pendidikan memang bukan hanya menjadi PR bagi pemerintah saja. Melainkan bagi kita, sebagai manusia yang beradab yang tidak akan pernah menjadi kacang yang lupa dengan kulitnya. Oleh karena itu, permasalahan ini menjadi tanggungjawab kita bersama, yang harus diselesaikan dengan bersama-sama menurut peran dan fungsi masing-masing.
Kita selaku kaum muda, harus mampu menjadi ‘bahan bakar siap pakai’ dikemudian hari. Yang siap untuk memperbaiki berbagai pola menyimpang yang dilakukan para pendahulu kita yang saat ini banyak kita lalui dan kita kritisi. Bukan hanya mampu sekedar membual dan berkhayal setinggi langit, tetapi juga mampu berkontribusi sebagai  pencetak perubahan yang berarti. Bukan dengan cara demonstrasi urakan dengan genre ‘law on the street’, melainkan dengan pengaplikasikan ilmu yang telah kita miliki untuk dibagi dan disebar agar tumbuh menjadi benih-benih kemajuan.


Ya.. menjadi kaum muda yang berani...
Kaum muda yang berani menempatkan diri pada tempat yang seharusnya..
Kaum muda yang berani melawan keinginan demi sebuah keharusan, dan
Kaum muda yang berani untuk menjadi pemberani sejati..


[Dewi Noor Azijah,KESMA]

[ Read More ]