Melayani, Mengabdi dan Berjuang

Facebook
RSS

Utopia Pendidikan Indonesia (Bag 1. Menjadi Anak Tiri di Ibu Pertiwi)

-
Kesma fisip unpad

“Setiap orang berhak mengembangkan diri mealui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari imu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” UUD 1945 BAB XA Pasal 28 C ayat (1)

Entah bermakna apa pasal itu saat ini. Apakah sebatas pemenuh konstitusi yang terkodifikasi, atau hanya sekedar rentetan kalimat utopis saja. sekali lagi, entahlah. Hanya pembuatnya yang tau. Tapi yang pasti pendidikan di negara ini masih dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan sangat jauh dari ekspektasi yang di idamkan.
Bila boleh saya mengkritik, banyak sekali hal-hal yang terjadi pada aktivitas penyelenggaraan pendidian di negara kita yang bertolak belakang dari Undang-undang yang tercantum serta sistem dari pendidikan itu sendiri. Apalagi kalau kita melihat pada UUD 1945 BAB XIII Pasal 31.
 Dalam pasal tersebut, di ”kisah” kan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan wajib untuk mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah berkewajiban untuk membiayainya. Dalam pasal tersebut juga mambahas mengenai penyelenggaraan sistem pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai IMTAQ dalam upaya pencerdasan bangsa. Serta, disediakannya anggaran dana yang digunakan untuk pendidikan. Tapi kenyataanya? Sekali lagi, entahlah..
Seperti yang dapat kita saksikan, masih banyak saudara-saudara kita yang hingga saat ini belum bisa mendapatkan salah satu hak dasarnya sebagai bagian hidup dari negara ini. Atau, ada pula yang memiliki kesempatan namun tidak mendapatan apa yang seharusnya ia dapatan sebagai seorang pencari ilmu di negara ini.
Padahal, dalam BAB III Sitem Pendidian Nasional mengenai hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mengikuti pendidikan agar dapat memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan, tanpa diskriminasi apapun. Baik itu jenis kelamin, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Tetapi, dewasa ini pendidikan bukan lagi sebagai sarana pencerdasan bangsa. Melainkan merupakan suatu ranah komresil, dimana didalamnya pihak-pihak yang berperan langsung dapat mendapatkan profit dari berbagai instrumen pemenuhan pendidikan. Walhasil, diskriminasi besar-besaran lah yang terjadi.
Seperti kita ketahui, di tingkat pendidikan menengah yang memiliki ‘predikat’ RSBI, pemerintah dengan ‘dermawan’ mengucurkan dana sekitar Rp. 5oo juta di tahun 2009 yang semula adalah Rp. 300 juta per sekolah. Tentu saja hal ini menimbulkan ketimpangan baik itu dari proses ataupun dari hasil belajar siswa yang berada disekolah RSBI dengan yang berstatus sekolah reguler. Padahal, RSBI ataupun Reguler memiliki kesamaan. Sama-sama harus merogoh kocek yang tidak sedikit, alias mahal. Meski memang tidak bisa dipungkiri bahwa biaya untuk sekolah RSBI lebih mahal dibanding reguler.
Hasilnya adalah, masyarakat kurang mampu yang menjadi korban. Mereka yang berharap dapat merubah nasib mereka dengan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, harus kembali mengusap dada karena kesempatan mereka kembali ditutup oleh mahalnya biaya pendidikan yang harus mereka bayar.
Tak hanya berhenti disini, diskriminasi pun terjadi terhadap siswa-siswa di daerah tertinggal. Disana masih banyak sekolah-sekolah yang bukan hanya kekurangan tenaga pengajar dan peralatan, bahkan sekolahnya pula tidak layak untuk ditempati. Meskipun pemerintah tahu persis hal ini tidak hanya disebabkan oleh letak geografis, perhatian pemerintah bisa di bilang masih kosong. Karena faktor-faktor selain letak geografis adalah rendahnya kualitas SDM dan sarana serta prasarana yang ada disana. Akan tetapi, bagaimana mungkin kualitas SDM akan baik dan sarana-prasarana akan terpenuhi jika pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai wakil mereka, hanya memperhatikan kawasan yang mereka tempati sebagai ladang mereka mencari harta. Ya.. kota-kota besar seperti Jakarta ataupun provinsi besar seperti Jawa.
Hal ini diperparah pula oleh ketentuan nilai kelulusan UN yang dari tahun ketahun semakin ‘menggila’ angkanya, yang tidak diimbangi oleh pemerataan pendidikan bagi seluruh wilayah di Indonesia. Tentu saja, untuk mereka yang mendapatkan kualitas terbaik atau sekedar mendapat ‘ilham’ dari membeli soal jawaban akan mampu melewati hal ini seperti angin lalu. Tetapi, untuk mereka yang kurang beruntung, hal ini bisa dianggap sebagai rem cakram bagi kalangsungan mereka dalam mencari ilmu.
 Padahal, pendidikan bukanlah sebagai tempat dimana banyak menelurkan insan-insan ‘pemburu angka’, melainkan sebagai tempat untuk dapat mengembangkan diri sesuai minat dan bakat yang dimiliki. Seperti kita ketahui, bahwa setiap orang memiliki keistimewaan masing-masing terlepas dari kelebihan ataupun kekurangan yang mereka miliki.
Tak hanya pada tingkat pendidikan menengah, pada tingkat lanjut alias perguruan tinggi diskriminasi pun masih dapat ditemukan. Seperti halnya yang terjadi pada SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun ini yang kuota nya dibatasi. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang sangat merugikan saudara-saudara kita yang ingin melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri.
Diskriminasi ini terlihat dari kuota yang diberikan pemerintah terhadap masing-masing sekolah di seluruh nusantara. Hanya untuk sekolah yang memiliki akreditasi sempurna ataupun berstatus RSBI yang memiliki probabilitas yan tinggi dalam memperolah kuota SMPTN. Sedangkan yang tidak, mau tidak mau harus berharap-harap cemas menunggu kebijakan pemerintah yan tidak diiringi kebijaksanaan ini. Pemerintah beralasan bahwa hal ini untuk meningkatkan mutu pendidikan, agar sekolah-sekolah yang belum terakreditasi A dapat termotivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Padahal, untuk hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, jika hal ini pula tidak dibantu oleh pemerintah yang memiliki ‘hajat’ kebijakan sendiri.
Entah apa yang diinginkan pemerintah. Padahal, dengan membatasi kuota SMPTN, rakyat Indonesia menjadi lebih kesulitan mendapatkan pendidikan dengan biaya yang lebih bisa terjangkau. Karena, secara otomatis, mereka harus mengikuti seleksi mandiri masuk Perguruan Tinggi Negeri pilihan mereka dengan catatan harus berani membayar lebih mahal.
Mau mengandalkan beasiswa pun rumitnya minta tobat. Karena, untuk mendapatkan beasiswa pun harus menempuh beberapa persyaratan yang tidak ringan. Apalagi, bila ada ‘permainan politik’ dalam memperoleh beasiswa. Mungkin harapan melanjutkan pendidikan hanyalah selayaknya bermimipi disiang bolong yang kemudian dibangunkan oleh sambaran petir bertubi-tubi.

KESIMPULAN
Kualitas pendidikan di negeri ini seolah menjadikan kita anak tiri di negara sendiri. Karena, bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang memiliki pelajar-pelajar dari luar negeri, perhatian pemerintah akan lebih ‘ramah dan memanjakan’. Berbeda dengan yang hanya berisi pelajar ‘lokal’ saja. Bila menghadapi pelajar ‘lokal’,  Pemerintah seolah tak acuh dan hanya memakai alibi ‘demi meningkatkan mutu pendidikan’ saja. Padahal, sebelum mereka memiliki dasi dan menduduki kursi pribadi, mereka telah diayomi oleh kasih sayang tulus dari Ibu Pertiwi yang kita cintai ini.
Permasalah pendidikan memang bukan hanya menjadi PR bagi pemerintah saja. Melainkan bagi kita, sebagai manusia yang beradab yang tidak akan pernah menjadi kacang yang lupa dengan kulitnya. Oleh karena itu, permasalahan ini menjadi tanggungjawab kita bersama, yang harus diselesaikan dengan bersama-sama menurut peran dan fungsi masing-masing.
Kita selaku kaum muda, harus mampu menjadi ‘bahan bakar siap pakai’ dikemudian hari. Yang siap untuk memperbaiki berbagai pola menyimpang yang dilakukan para pendahulu kita yang saat ini banyak kita lalui dan kita kritisi. Bukan hanya mampu sekedar membual dan berkhayal setinggi langit, tetapi juga mampu berkontribusi sebagai  pencetak perubahan yang berarti. Bukan dengan cara demonstrasi urakan dengan genre ‘law on the street’, melainkan dengan pengaplikasikan ilmu yang telah kita miliki untuk dibagi dan disebar agar tumbuh menjadi benih-benih kemajuan.


Ya.. menjadi kaum muda yang berani...
Kaum muda yang berani menempatkan diri pada tempat yang seharusnya..
Kaum muda yang berani melawan keinginan demi sebuah keharusan, dan
Kaum muda yang berani untuk menjadi pemberani sejati..


[Dewi Noor Azijah,KESMA]

Leave a Reply